Tahun 2004 berakhir dengan terjadinya bencana tsunami dan gempa bumi yang menghantam Indonesia dan beberapa negara lain (antara lain Thailand, India, dan Srilanka) pada awalnya orang tidak menyangka bahwa bencana ini akan begitu besar memakan korban. Aku ingat pertama mendengar di radio penyiar menyampaikan angka2 korban tewas berdasarkan laporan puskesmas di beberapa kecamatan di propinsi Aceh Darusalam, hany berkisar belasan saja masing2nya. Saat itu liputan utama terarah ke Thailand, karena kemudahan komunikasi dan banyaknya turis eropa/amerika yang ada di sana.
Pada laporan awal angka korban di Indonesia/Aceh dan Sumatra Utara tertinggal dari Srilanka, pada malam harinya menteri kesehatan mengumumkan angka korban pada kisaran 1.700. Pada keesokan harinya Senin, mulai terasa bahwa korban jauh lebih besar. Sampai kemudian pemerintah memperkirakan bahwa kemungkinan korban bencana untuk Indonesia saja bisa mencapai 100.000 jiwa.
Banyak cerita tentang bencana ini, salah satunya bahwa saat ini terjadi perlombaan untuk memberi sumbangan ke Aceh. Hal ini tentu saja menggembirakan, tapi pantas di catat AS yang mulai dengan mengumumkan janji bantuan sebesar 15 juta dollar (dan segera mendapat caci maki termasuk dari pejabat Unicef yang menyebut AS stinggy/pelit) keesokannya merubah angka bantuan menjadi 35 juta dollar bahkan terakhir mengumkan besar bantuan sebesar 350 juta dollar. Satu argumen yang kebetulan sempat aku tonton adalah dari seorang pakar militer, yang mengaitkan bantuan AS dengan upaya memerangi teror. Menurut dia, dengan kemampuan ekonomis AS, maka pemberian bantuan seharusnya bisa jauh lebih besar; toh hal ini bisa diambil dari (atau dianggap sebagai) upaya mencegah teror terhadap AS. Kegagalan AS menjadi contoh dalam bantuan kemanusiaan, akan menjadikannya sasaran teror d kemudian hari, yang mungkin saja akan memakan biaya yang jauh lebih besar dari yang akan dikeluarkan sekarang.
Hal lain yang pantas diacungi jempol adalah sikap pemerintah RI, khususnya TNI, yang tidak bertele-tele dengan aspek keamanan dan pertahanan; tanpa sekalipun mengucapkan GAM atau separatisme pintu Aceh dibuka sebesar-besarnya. Siapa saja bisa mendapat visa on arrival, bahkan pesawat dan kapal perang tidak perlu prosedur, silahkan saja mendarat atau merapat. Bagi mereka yang mengenal paranoid aparat pertahanan dan keamanan negara hal ini menjadi catatan tersendir. Bahkan dalam banyak laporan media asing, BBC/CNN, sering disebut bahwa hanya militer infrastruktur negara/masyarakat yang bertahan (walau mereka sendiri bukannya tidak jatuh korban).
Bila ini adalah pratanda apa yang akan terjadi di tahun ini maka kita akan melihat berbagai paradox dan perilaku di luar dugaan. Kejadian besar dan kecil yang memaksa atau memberi kesempatan bagi para pelaku untuk melihat sisi lain dari persoalan. Paradox karena kejadian2 dan aktor2 yang dikenal dengan suatu pola pendekatan tertentu terhadap pemecahan persoalan, akan mendapat peluang atau dipaksa untuk merubah sikap dan keputusannya.
Kita mengharap dari bencana ini misalnya ada inisiatif untuk menyelesaikan operasi militer di Aceh, bukan sebagai kekalahan TNI , tetapi dengan pembuktian oleh segenap bangsa Indonesia bahwa Aceh memang bagian dari Indonesia. Derita Aceh adalah derita bangsa Indonesia seluruhnya. Juga bukan kekalahan Aceh merdeka, tetapi ketulusan hati para pemegang senjata untuk mendahulukan nasib rakyat banyak di Aceh, dengan memberi ruang sebesarnya untuk rehabilitasi tanpa ancaman kekerasan.
Bila itu terjadi, kebesaran hati kedua pihak serta kenegawanan dari para pemimpin bangsa, maka memang kita akan membayar bencana yang berpusat di Aceh itu dengan langkah penyelesaian konflik yang berkepanjangan di sana.
Semoga.
03 Januari 2005
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar