04 Desember 2004

Economist.com | MONITOR

Economist.com | MONITOR: "ITS POPULARITY is growing around the world, but open-source software has particular appeal in developing countries. In China, South Korea, India, Brazil and other countries, governments are promoting the use of such software which, unlike the proprietary kind, allows users to inspect, modify and freely redistribute its underlying programming instructions. The open-source approach has a number of attractions. Adopting open-source software can reduce costs, allay security concerns and ensure there is no danger of becoming too dependent on a foreign supplier. But there is another benefit, too: because it can be freely modified, open-source software is also easier to translate, or localise, for use in a particular language. This involves translating the menus, dialogue boxes, help files, templates and message strings to create a new version of the software."

Kenapa Indonesia tidak di sebut ya. Apakah memang karena tidak ada upaya Indonesia untuk menggunakan open source software dan menghindari status sebagai negara pelanggar hak cipta intelektual? Dalam perspektif ini maka negara berkepentingan untuk turut berperan, karena pelanggaran hak cipta intelektual (pembajakan) mempunyai pengaruh terhadap hubungan perdagangan internasional atau export indonesia. Berbagai produk eksport Indonesia bisa mendapat tambahan bea masuk sebagai tindakan balasan bila perusahaan pemilik hak intelektual menggunakan jalur hukum di negaranya AS dan Eropa yang merupakan pasar utama produk ekspor Indonesia.

Tapi hal ini juga menjadi tanggung jawab pekerja informasi Indonesia, mereka yang lebih mengenal segala sesuatu tentang teknologi informasi untuk menyampaikan pada pemerintah dan masyarakat luas, bahwa ada alternatif dari membajak. Kerugian menggunakan produk bajakan adalah bahwa keaslian/keamanan produk tidak terjamin dan tidak adanya dukungan teknis. Dengan menggunakan software opensource, sedikit belajar, bisa membawa kita pada software yang tingkat keamanannya bisa tidak kalah dari produk komersial. Juga banyak pakar yang menawarkan sukungan bagi aspek teknis bagi software opensource, memang semuanya masih dalam bahasa Inggris, tetapi bila pengguna opensource software di Indonesia bertambah tentu akan ada pakar Indonesia yuang akan menjalankan fungsi ini, juga akan mudah menterjemahkan berbagai petuinjuk yang tersedia dalam bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.

Jadi gerakan bahkan kebijakan pemerintah untuk misalnya menjadikan open source software sebagai pilihan, akan menghindarkan Indonesia dari sangsi sebagai negara pembajak software. Dan seperti artikel yang di kutip akan memberi kemudahan untuk menerjemahkan berbagai petunjuk penggunaan software ke dalam bahasa Indonesia. Tumbuhnya industri pendukung software opensource di Indonesia kemungkinan hanya menggantikan jalur software komersial yang ada sebelumnya. Juga berbagai kursus komputer yang saat ini mengajarkan MS Office (dengan software bajakan) dengan mudah akan beralih ke OpenOffice.Org).

Tapi kenapa hal ini tidak terjadi, karena saat ini tidak ada upaya penegakan hukum serius yang menjadi insentif para pengguna produk bajakan untuk beralih ke software opensource. Adanya upaya penegakan hukum serius juga akan mendorong para pembajak untuk menjadi distributor produk opensource (yang legal), semua ini akan menjauhkan ekonomi dari kegelapan, serta mendorng peningkatan pajak ... kala berbagai usaha yang berkembang menjadi legal dan menjadi pembayar pajak.

Mungkin upaya secara sistematis untuk mengkaji hal ini secara serius serta upaya networking antara policy researcher dan para pakar IT perlu di rintis. Atau hal ini sudah ada yang melakukan? Kalau ada aku sangat berterima kasih kalau ada yang memberitahu.

Tidak ada komentar: