31 Agustus 2006

Kacaunya Sistem Hukum - Kacaunya sistem berpikir

 

Jember (ANTARA News) - Ketua Mahkamah Agung (MA) RI, Bagir Manan, menegaskan bahwa biaya perkara di Mahkamah Agung tidak bisa diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), karena bukan merupakan uang negara melainkan uang klien. "Kalau biaya perkara memang masuk ke kas negara, tetapi itu bukan uang negara," ungkap Bagir Manan, di Jember, Kamis. Menurut dia, saat ini ada kesalahan persepsi terhadap biaya perkara, seperti dalam kasus pidana tidak ada biaya perkara, karena ditanggung negara, sedang dalam kasus perdata menjadi tanggung jawab klien yang berperkara. Sebab menurutnya, dalam kasus perdata yang diperjuangkan adalah milik pribadi sehingga pihak yang berperkara wajib membayar biaya perkara tersebut.

Source: ANTARA News :: Bagir Manan : Biaya Perkara Tak Bisa Diaudit

Ini contoh paling karikatural tentang kekacauan negara ini. Terlepas dari logika hukum tetapi bagaimana membenarkan adanya lembaga negara yang berargumen bahwa karena pungutan yang dikenakan kepada mereka yang menerima pelayanan, adalah untuk kepentingan pribadi maka dana yang didapat dari pungutan itu tidak merupakan dana negara? Sederhananya dana tersebut diterima karena adanya wibawa dan kuasa negara yang digunakan untuk memberikan pelayanan kepada warga negara. Kalau ada bagian dari biaya pengadaan pelayanan tersebut yang dibebankan pada penerima layanan logikanya adalah bahwa ia termasuk dalam obyek keuangan negara, artinya ia termasuk uang negara.

Seandainya logika hukum ternyata membenarkan pimpinan negara, maka selanjutnya kita akan melihat pembenaran terhadap praktek pengamanan oleh aparat negara kepada warga dengan mengutip pungutan 'di luar uang negara'. Kita juga akan melihat RS mengutip biaya 'di luar uang negara'; sekolah negeri yang mengutip 'di luar uang negara'. Kalau selama ini seluruh praktek seperti itu berlangsung, maka sekarang semua bisa dengan terbuka dilakukan tanpa khawatir adanya sanksi hukum. Dalih yang diperlukan adalah membuktikan dalil bahwa pelayanan yang diberikan dan diterima adalah untuk kepentingan pribadi dan bukan kepentingan publik dan karena layanan memberi manfaat pribadi maka uang balas jasa merupakan hak pemberi layanan yang tidak merupakan obyek keuangan negara.

Pimpinan Lembaga Tinggi Negara berpikiran seperti pengusaha. Bahwa seseorang dengan pemikiran seperti ini bisa ini mencapai jabatan tinggi seperti ini, maka ini menggambarkan betapa pemikiran semacam ini tidak dirasa berlawanan dengan norma umum yang diterima.

Terimalah kenyataan bahwa negara kita ini adalah negara korporasi, negara yang bukan untuk kepentingan orang banyak tetapi untuk mereka yang bisa menggunakan kekuatan dan segala sumber daya (dan kelicikan) yang tersedia baginya untuk mendapat manfaat pribadi.

Tidak ada komentar: