Rasa pertama terkait dengan indera pengecap, berurusan dengan makanan/minuman; ia juga berurusan dengan sentuhan kala rasa itu terkait dengan sensasi yang muncul kala kulit kita menyentuh sesuatu. Tetapi secara umum rasa adalah keseluruhan pengalaman kita yang ada dalam hati (atau otak?). Bagi pengguna bahasa Indonesia kala kita berbicara dengan orang lain, sering kita mengungkapkan sesuatu "Saya rasa" hal ini berbeda dengan pengguna bahasa Inggris yang kerap mengungkapkan "Saya pikir".
Apakah hal ini adalah gejala dari suatu hal yang lebih mendalam? Apakah benar bahwa pengguna bahasa Indonesia lebih dituntun oleh perasaan ketimbang pengguna bahasa Inggris? Tentulah hal ini membutuhkan kajian mendalam dari bidang psikologi. Apa sebetulnya yang akan membedakan mereka yang terutama dituntun oleh perasaan dari mereka yang terutama dituntun oleh pikiran? Umumnya pikiran dikaitkan dengan logika dan informasi yang dapat diuji kebenarannya, sedangkan perasaan kerap lebih sulit diuraikan. Mungkin karena sensasi memang bukan bagian dari alam logika. Tidak berarti bahwa perasaan tidak logis.
Rasa kerap dikaitkan dengan keindahan, sedangkan pikir terkait dengan kebenaran. Tetapi apakah kedua hal itu bertentangan, saya rasa (atau pikir) tidak. Atau menurut saya seharusnya tidak. Keindahan yang benar, kebenaran yang indah. Ketidak mampuan kata untuk merumuskan keindahan, ketidakmampuan kata merumusakan rasa lebih disebabkan oleh pelatihan kita sebagai pengguna bahasa.
Akan sangat sulit merumuskan keindahan cinta, ia hanya bisa dipahami oleh mereka yang pernah mengalaminya. Bila pikiran adalah suatu keahlian yang bisa diajarkan, maka rasa adalah suatu hal yang juga bisa dilatihkan. TEtapi karena kita lebih terbiasa dengan pemuatan keputusan berdasarkan logika (katanya) kita sering lupa untuk mempertimbangkan peranan perasaan. Tetapi sesungguhnya saya yakin hal itu tidak berarti bahwa perasaan tidak berperan dalam proses pengambilan keputusan.
Sadar atau tidak para praktisi periklanan kerap mengeksploitasi hal ini, berapa banyak iklan yang bersandar pada faktor emosional dan berapa banyak iklan yang bersandar pada faktor analisis, logika dan pikiran. Menonjolkan keindahan untuk mengarahkan proses pembuatan keputusan seseorang selalu dipilih dari pada menonjolkan kebenaran, atau mengarahkan seseorang untuk melihat fakta yang paling logis. Kita kerapa melihat iklan yang sepenuhnya mengandalkan daya tarik keindahan tanpa logika sedikitpun, tetapi nyaris tidak pernah kita melihat iklan yang berani menonjolkan kebenaran dengan mengabaikan keindahan (setidaknya dalam tampilan iklan tersebut).
Mudah orang kemudian menytakan bahwa hal ini terjadi karena Indonesia masih terbelakang, bahwa orang Indonesia belum tercerahkan (enlightened). Tetapi faktanya adalah bahwa hal serupa juga terjadi di negara yang paling maju sekalipun. Jadi kesimpulan (logis) bahwa hal ini khusus Indonesia tidaklah benar. Fakta lain adalah bahwa bagi praktisi pemasaran kerap iklan yang tidakberselera (makin tidak logis juga dieksekusi tanpa keindahan) sering lebih berhasil membawa pembeli, padahal maksud dari iklan komersil adalah untuk menciptakan pembeli. Iklan adalah seni terapan, bukan seni murni. Keberhasilan suatu iklan bukan dalam kacamata kritikus, tetapi apakah pemasang iklan terpuaskan maksudnya. Dan biasanya pemasang iklan menginginkan produk atau jasanya dikenal dan dibeli orang, bukan iklannya dikenal dan disukai orang.
Dari hal yang paling makro, kita beralih pada hal yan paling personal. Keputusan untuk berpasangan dengan orang lain, baik menikah atau berpacaran. Kerap diasosiasikan bahwa hal ini merupakan suatu hal yang sepenuhnya diatur dengan perasaan, kalaupun ada seseorang yang memilih pasangannya dengan logika kita cenderung menanggapi hal itu sebagai sesuatu yang negatif. Tetapi betulkah hal ini? Dalam berbagai novel dan sinetron selalu kisah macam Siti Nurbaya muncul, pilihan hati berhadapan dengan pilihan kepala. Plot yang sering adalah bahwa pilihan hati mejadi pilihan individu sedangkan pilihan kepala menjadi pilihan keluarga atau komunitas.
Mungkin sebaiknya aku berhenti dulu di sini, dan membuat kelanjutan tulisan ini setelah merenungkannya sedikit lagi. Atau memang saat ini aku perlu melakukan hal yang lain (hahahahahahaha).
06 November 2004
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar